Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya karena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seolah-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selalu menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal selalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum.
Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawannya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalagi bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa?
“Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?” tanya Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan tempat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. “Kalau tahu maumu, kita kan bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi.”
“Iya, Zal,” timpal Budi, “kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sudah dekat lho, Zal.”
“Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!” celetuk Eko sambil ngakak. “Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti mempunyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah.”
“Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?” tukas Edy mengomentari.
“Tenang saja, Zal!” ujar Kang Ali, “kalau kau sudah berminat, tinggal bilang saja padaku.”
“Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?” tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan kawin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum kecut.
“Tidak sumbut dengan tampilannmu,” celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menyeruput kopinya. “Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sama cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?”
“Jawab dong, Zal!” kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kacang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya.
“Biar saja, Bu,” jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. “Kalau capek kan berhenti sendiri.”
Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawannya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhiri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganjurkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar-siarkan. Sudah sering –sampai bosan– Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodoh akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan jodoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersusah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari Atas. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. Dia pernah membaca dalam buku “Hikam”-nya Syeikh Ibn ’Athaillah As-Sakandarany sebuah ungkapan yang menarik, “Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sudah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktikan padamnya mata-hati dari dirimu.”
Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk –kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan– mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menjadi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan.
“Suatu ketika mereka akan tahu juga,” katanya dalam hati.
***
Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo seperti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang “pintar” yang baru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranormal, dukun, atau yang lain. “Aku ingin tahu,” katanya menjelaskan tentang kesukaannya itu, “apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga terjadi di dunia politik.” Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Ali dijuluki pakar “orang pintar”.
“Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangnya nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadang dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah air. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan para tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pangkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Hambali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa beliau waskita, tahu sebelum winarah.”
Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-orang “pintar” yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling meyakinkan kemampuannya.
“Nah, kalau kalian berminat,” kata Kang Ali akhirnya, “aku siap mengantar.”
“Wah, ide bagus ini,” sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. “Kita bisa minta tolong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodohnya memang melalui Mbah Hambali itu.”
“Setujuuu!” sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para wakil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya diam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia keberatan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab lain, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk menetapkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seandainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena hari dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua.
***
Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mereka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Ali, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hingga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur.
Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana “orang pintar” itu memperlakukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan diusir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba “Au!” si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu.
Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, dan Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba-tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. “Pengumuman! Pengumuman!” teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. “Kenalkan ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!” Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, “Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?”
“Ya, Mbah!” jawab Rizal mantap.
“Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?”
“Ya, menerima Mbah!” sahut Rizal tegas.
“Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!”
“Saya menerima, Mbah!”
“Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargamu besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimahnya!”
Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya.
“Lho, kamu ini bagaimana, Zal?” kata Pak Aryo penasaran. “Tadi kamu kok ya ya saja, seperti tidak kau pikir.”
“Kau putus asa ya?” timpal Budi. “Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lapuk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?”
“Ya kalau anak Mbah Hambali cantik,” komentar Yopi, “kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?”
“Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho,” kata Eko mengingatkan. “Lagi pula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!”
“Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!” kata Andik khawatir.
Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti biasa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti. ***
Rembang, 2004
download cerpen Gus Mus yang lain
"Ndara Mat Amit"
cerpen : KH. A. Mustofa Bisri
Anak-anak kecil sangat takut dengan lelaki itu. Bukan saja karena tubuhnya yang tinggi besar; mukanya yang tak pernah tersenyum, dan bibirnya yang dower, tapi terutama karena kebiasaannya yang aneh. Suka mencaci dengan berteriak kepada siapa saja yang dijumpainya. tak peduli terhadap siapa saja --orang tua, anak-anak, laki-laki, perempuan, orang biasa, tokoh masyarakat-- lelaki yang di kampung kami dipanggil Ndara Mat Amit itu selalu bersikap kasar.
Caci maki baginya seperti salam saja. Setiap ketemu orang, kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah caci-maki atau kata-kata tidak jelas maknanya yang rupanya dia maksudkan juga sebagai cacian. Mungkin karena itu, atau mungkin juga karena tak tahu arti ndara, anak-anak tidak ada yang memanggilnya Ndara, hanya Mat Amit saja.
Semula aku sendiri juga hanya memanggilnya Mat Amit, tapi setelah dimarahi ibuku, aku ikut-ikut orang tua memanggilnya Ndara. Tak ada seorang pun yang tahu persis di mana Ndara Mat Amit tinggal. Orang-orang hanya tahu dia itu bukan penduduk asli, orang dari luar kota, tapi punya banyak kenalan di kota kami. Ada yang bilang dia dipanggil Ndara karena masih keturunan Nabi. Hanya karena ia sering datang -- hampir sebulan sekali, paling lama tiga bulan sekali-- banyak orang yang kemudian mengenalnya.
"Mat Amit! Mat Amit!" begitu teriak anak-anak bila melihat sosok raksasa itu datang. Dan anak-anak yang sedang asyik bermain itu pun buyar; berlarian ke sana kemari seperti gerombolan anak kijang melihat harimau.
Di antara yang sering dikunjungi Ndara Mat Amit adalah rumah kami. Kalau datang, ia tidak pernah lupa mampir ke rumah. Entah mengapa. Mungkin dia menyukai ayahku yang memang ramah terhadap setiap tamu. Ayah pernah menasihatiku: menghormati tamu itu merupakan anjuran Rasulullah; jadi siapa pun tamu kita, mesti kita hormati. Muslim yang baik ialah yang dapat menundukkan rasa suka dan tidak sukanya demi melaksanakan ajaran Rasulnya.
"Tapi Ndara Mat Amit sendiri tidak ramah, Yah," selaku, "bahkan menakutkan!"
"Apa yang kau takuti? Dia itu manusia biasa juga seperti kita," kata Ayah menjelaskan.
"Dia kan tidak pernah mengigit orang. Orang itu kan macam-macam tabiatnya. Ada yang kasar, ada yang lembut. Ada yang sopan, ada yang tidak. Kita sendiri memang harus berusaha menjadi orang yang lembut dan sopan, tapi kan tidak harus membenci mereka yang belum bisa bersikap begitu. Dan ingat, cung (cung, dari kacung = panggilan untuk anak kecil); penampilan luar orang belum tentu menggambarkan pribadinya, bahkan seringkali kita terkecoh kalau hanya melihat penampilan seseorang. Bukankah sering kita melihat orang yang tampaknya sopan dan halus, ternyata tabiatnya suka menghasut."
Entah karena nasihat Ayah atau mungkin karena sudah terbiasa, akhirnya aku sendiri --tidak seperti banyak kawanku-- tidak begitu takut lagi dengan Ndara Mat Amit. Memang dulu --dalam kesempatan berkunjung ke rumah-- pernah aku dipanggil Ndara Mat Amit, tepatnya dibentak, hingga gemetaran.
"Hei, kamu, bajingan, kemari!"
Aku terpaku ketakutan.
"Setan kecil! Punya telinga, tidak?" teriaknya lagi. "Aku memanggilmu, Bahlul!"
Aku pun ragu-ragu mendekat dengan kewaspadaan penuh. Pikirku, kalau dia macam- macam, mau mengampar misalnya, aku sudah siap melarikan diri. Ternyata dia merogoh saku jasnya yang kumal, mengeluarkan beberapa uang receh, dan memberikannya kepadaku.
"Ini, buat jajan kamu dan kawan-kawanmu!" katanya kasar. "Goblok! Terima!"
Ragu-ragu aku menerima pemberiannya.
"Lho, apalagi? kurang?" Dia merogoh lagi sakunya dan memberikan lagi uang receh kepadaku.
"Sekarang minggat!" teriaknya kemudian mengejutkanku.
"Cepat minggat! Monyet kecil!!!"
Aku pun berlari meninggalkannya.
Ngeri, tapi senang juga mendapat uang jajan yang cukup untuk menraktir kawan-kawan ke warung pecel De Karmonah. Ada baiknya juga orang sangar ini.
***
Sudah menjadi kebiasaan, pada bulan Maulud (Rabi'ul Awwal) Ayah mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di aula pesantrennya. Dulu acaranya sederhana saja. Tidak ada ceramah-ceramah seperti sekarang. Hanya berzanjenan, membaca syair-syair madah Al-Banzanji-nya Syeikh Jakfar Al-Barzanji, untuk mengenang dan memuji Rasulullah SAW. Orang-orang bergiliran membaca dengan lagu yang berbeda-beda. Ada yang irama dan nadanya seperti lagu India, ada yang seperti lagu Melayu, ada lagu padang pasir, dsb. Bahkan ada yang menembak irama lagu Pengantin Baru. Kalau lagunya agak sulit, orang-orang yang "koor" mengikutinya agak kerepotan juga. Biasanya ada grup rebana yang mengiringi.
Dalam acara semacam ini Ndara Mat Amit tidak pernah absen hadir dengan pakaian kebesarannya yang khas:sarung plekat, jas yang berkantong besar; peci torbus merah, dan sepatu dengan kaos kaki tebal. Dia kelihatan paling bersemangat menyahuti syair-syair yang dilagukan.Seperti sosoknya, suaranya juga paling menonjol. Keras, sember; dan sumbang; membuat anak-anak muda menahan senyum dan anak-anak kecil cekikikan campur takut.
Tidak seperti biasanya, dalam acara seperti itu, Ndara Mat Amit tidak peduli; dia tetap asyik menyahuti shalawat Nabi dengan serius dan sepenuh hati. Sampai suatu ketika, pada acara Mauludan seperti itu terjadi peristiwa yang menarik. Pada saat asyraqalan, di mana semua yang hadir berdiri sambil melantunkan shalawat mulai dari Thala'al Badru 'alainaa ... Ndara Mat Amit tampak menunduk-menunduk sambil menangis meraung-raung. Sementara di bagian lain terlihat pemandangan yang serupa: Pak Min, kusir dokar yang biasa mengantar Ayah bila bepergian agak jauh, juga menunduk-menunduk sambil menangis, meski tidak sekeras Ndara Mat Amit. Tentu saja sikap kedua orang itu menarik perhatian sekalian yang hadir. bahkan setelah selesai acara berzanjenan, pada waktu acara makan bersama, kulihat Ayah mendekati Pak Min dan menanyainya, "Kang Min, tadi waktu asyraqalan aku lihat kamu kok menunduk-nunduk sambil menangis. Mengapa?"
"Lho, apa Kiai nggak pirso tadi itu Kanjeng Nabi rawuh?" Kang Min balas bertanya sambil berbisik.
"Lho, masak iya, Kang Min?" ayah seperti kaget.
"Aku kok nggak melihat."
"Kusir samber gelap!" tiba-tiba suara geledek Ndara Mat Amit menyambar. "Begitu saja ente pamer-pamerkan, Min, Min! Dasar kusir kucing kurap!"
"Siapa yang pamer, Yik (Yik berasal dari Sayyid = panggilan untuk orang Arab di Jawa)?" sahut Pak Min. "Aku kan ditanya Kiai. Memangnya aku mesti diam saja ditanya Kiai?"
"Kusir tengik, tak tahu malu!"
"Kau ini, Yik, yang tak tahu malu!" sergah Pak Min dengan berani, membuat orang-orang tercengang.
"Dari dulu nggak capek-capeknya pakai topeng monyet. Sudahlah, Yik, yang wajar-wajar saja! Untuk apa pakai topeng segala! Ente pikir, dengan pakai topeng monyet begitu ente bisa menyembunyikan diri ente? kusir dokar saja tahu siapa ente sebenarnya."
Orang-orang mengira Ndara Mat Amit akan meradang dan menerkam atau setidaknya menyumpahi Kang Min habis-habisan. Ternyata tidak. Ndara kita ini malah menunduk dan tak lama kemudian, "Assalamu'alaikum!" katanya memberi salam kepada semua, dan --lho!-- ditinggalkannya majlis begitu saja.
Dari kejauhan masih terdengar lamat-lamat umpatannya, "Kusir edan!" Sejak itu, Ndara Mat Amit menghilang. Tak pernah lagi datang ke kota kami. Demikian pula Pak Min. tak lama setelah kepergian Ndara Mat Amit, Pak Min pamit kepada Ayah dan menyerahkan dokar dan kudanya. Katanya mau pulang ke desanya, tapi setelah itu tak pernah kembali.
"Dua orang itu," kata Ayah saat aku mintai penjelasan, "Sayyid Muhammad Hamid --yang dikenal sebagai Ndara Mat Amit-- dan Kiai Mukmin --yang biasa dipanggil Pak Min atau Kang Min-- sebenarnya sama-sama memakai topeng. Artinya keduanya ingin menyembunyikan diri mereka yang sebenarnya agar tidak dikenali orang. Keduanya ingin tampak awam, bahkan hina, di depan umum. Yang satu dengan berlagak kasar tak tahu sopan; yang satunya lagi bersembunyi dalam pekerjaannya sebagai kusir. Dulu banyak orang saleh yang menyembunyikan diri seperti itu, bahkan ada yang berpura-pura gila. Ada yang melakukan hal itu karena khawatir didekati penguasa; ada yang tak mau kehilangan kenikmatan sebagai hamba yang papa di hadapan Allah, ada juga yang semata-mata karena takut hatinya terserang ujub."
"Tapi, seperti kau ketahui, takdir mempertemukan kedua tokoh bertopeng itu dan tanpa sadar topeng-topeng mereka terlepas. Keistimewaan mereka pun terlihat oleh kita. Kamu lihat waktu berzanjenan itu: dari sekian banyak kiai, tak ada seorang pun yang melihat kehadiran Rasulullah, juga Ayah. Hanya mereka berdua. Itu waAllahu a'lam, merupakan tanda bahwa hati mereka memang bersih. Hanya mereka yang mempunyai hati bersih, yang dapat melihat alam malakut dan roh suci nabi. Ayah yakin mereka berdua tak akan pernah kembali kemari, selamanya. Wali mastur, yang menyembunyikan kesalehannya, selalu menghilang bila ketahuan umum."
Rembang, 3 Ramadan 1423Posted by Penerbit imtiyaz,http://imtiyaz-publisher.blogspot.com/ Penerbit Buku Buku Islam
Cerpen: Kang Kasanun
7 Nopember 2005 16:20:02
Oleh: A. Mustofa Bisri
Mendengar cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku
ceritakan ini, baik dari ayah atau kawan-kawannya seangkatan di
pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan seringkali aku
membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si Pesulap Mandrake.
Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu ilmu
saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya
dengan Kang Kasanun. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi
karena faktor keseniorannya atau karena ilmunya.
Kiai Mabrur, guruku ngaji Quran dan salah seorang
kawan ayah di pesantren, paling semangat bila bercerita tentang Kang
Kasanun. Aku dan kawan-kawanku paling senang mendengarkannya; apalagi
Kiai Mabrur bila bercerita tentang tokoh yang dikaguminya itu acapkali
sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita bagaimana Kang Kasanun
dikeroyok para begal, Kiai Mabrur memperagakan dengan memperlihatkan
jurus-jurus silat. “Kang Kasanun itu pendekar yang ilmu silatnya
komplit,” katanya terengah-engah.
“Yang saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang
digunakan Kang Kasanun membekuk tujuh begal yang mencegatnya di
perjalanan. Tujuh orang dan Kang Kasanun sendirian. Bayangkan! Kami
sendiri, saya dan beberapa kawan yang berminat, setiap malam Jumat dia
ajari jurus-jurus silat dari berbagai cabang. Tapi mana mungkin bisa
seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila sedang bersilat,
bisa nempel dan merayap di dinding.”Ayah sendiri sering juga bercerita tentang Kang Kasanun, tapi tidak dengan memperagakannya seperti Kiai Mabrur. “Nggak tahu, dia itu ilmunya dari mana?” kata ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya yang disebutnya jadug itu. “Di samping menguasai ilmu silat, ilmu hikmahnya aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacaan aneh –campuran bahasa Arab dan Jawa– dia bisa membuat tidur seiisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang sepasar gara-gara dia dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul dimakannya habis. Dia tidak apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus. Kata kawan-kawan dia juga bisa memanggil burung yang sedang terbang di udara dan ikan di dalam sungai.”
“Kata Kiai Mabrur, Pak Kasanun juga bisa menghilang, betul Yah?” tanya saya.
Ayah tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. “Pernah beberapa kawan diajarinya ilmu halimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, artinya bukanya hanya dengan nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam ngebleng, semuanya tidak boleh tidur sama sekali. Ayah juga ikut.”
Ayah berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan masa lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. “Dari sekian orang yang ikut program halimunan itu, hanya ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal, ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah pimpinan Kang Kasanun sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling galak di kota. Kang Kasanun berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di toko masih melihat orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali mengambil sesuatu. Karena tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang, tidak terlihat orang, yaitu apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Kang Kasanun, kita bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi ambil barang seadanya dan yang murah-murah saja.”
Ayah berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian melanjutkan. “Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil sabun, ada yang mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Mabrur, guru Quranmu itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak persis di depan Cina pemilik toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik toko maupun pelayan-pelayannya, seperti tidak melihat apa-apa. Setelah mengambil barang-barang itu, kawan-kawan ngeloyor begitu saja dan tak ada yang menegur. Saya yang malah ditanya Kang Kasanun, kenapa saya tidak mengambil apa-apa? Saya menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko. Jadi, sesuai pesan Kang Kasanun sendiri, saya tidak berani mengambil apa-apa. ’Sampeyan kurang mantap sih!’ komentar Kang Kasanun. Memang terus terang, waktu itu –sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu– saya tidak percaya ada ilmu halimunan, ada orang bisa menghilang.”
“Ada tamu ya, Bu?!” tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar tamu.
“Ya,” jawab ibu tanpa menoleh, “Kawan lama ayahmu di pesantren. Beliau akan menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan sama ayahmu. Dengar itu, tawa mereka.”
“Ya, asyik benar tampaknya,” timpalku. “Tamu dari mana sih, Bu?”
“Kata ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Kasanun atau siapa?!”
“Kasanun?” tanya aku setengah berteriak.
“Ee, jangan berteriak!” bisik ibu. Tapi aku sudah bergegas meninggalkannya. Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu. Tamu ayah tidak seperti yang aku bayangkan. Tidak gagah, malah terlihat kecil sekali di depan ayahku yang bertubuh besar. Kurus lagi. Ah, jangan-jangan ini bukan Kasanun sang pendekar yang sering diceritakan Kiai Mabrur. Masak kerempeng begitu. Tapi setelah nguping, mendengar pembicaraan ayah dan tamunya itu sebentar, aku menjadi yakin memang itulah sang Superman, Kang Kasanun. Apalagi tak lama kemudian Kiai Mabrur datang dan saling berpelukan dengan si tamu. Nanti malam, aku harus menemuinya, kataku mantap dalam hati. Aku harus mendapatkan salah satu ilmu hikmahnya.
Kebetulan sekali, malam ketika ayah akan mengajar ngaji, aku dipanggil dan katanya, “Kenalkan, ini kawan ayah di pesantren, Kang Kasanun yang sering ayah ceritakan! Kawani dulu beliau sementara ayah mengaji.”
Begitu ayah pergi, aku segera menjabat tangan orang yang selama ini aku idolakan. Beliau menerima tanganku dengan menunduk-nunduk penuh tawadluk.
“Gus, putra ke berapa?” tanyanya dengan suara lembut.
“Nomor dua, Kiai!” jawabku sambil terus mengawasinya.
“Jangan panggil saya kiai!” katanya bersungguh-sungguh. “Saya bukan kiai. Saya memang pernah mondok di pesantren bersama ayahanda Gus, tapi tidak seperti ayahanda Gus yang tekun belajar. Saya di pesantren hanya main-main saja.”
Aku tidak begitu menghiraukan apa yang beliau katakan, aku sudah punya rencana sendiri dari tadi. Mengapa harus ditunda, inilah saatnya, mumpung hanya berdua. Kapan lagi?
“Bapak Kasanun,” kata saya sengaja mengganti sebutan kiai dengan bapak, “sebenarnya saya sudah lama mendengar tentang Bapak, baik dari ayah maupun yang lain. Sekarang mumpung bertemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberi ijazah kepada saya barang satu atau dua dari ilmu hikmah Bapak.”
Mendengar permohonan saya, tiba-tiba tamu yang sejak lama aku harapkan itu menangis. Benar-benar menangis sambil kedua tangannya menggapai-gapai.
“Jangan, jangan, Gus! Gus jangan terperdaya oleh cerita-cerita orang tentang bapak. Apalagi kepingin yang macam-macam seperti yang pernah bapak lakukan. Biarlah yang menyesal bapak sendiri. Jadilah seperti ayahanda saja. Belajar. Ngaji yang giat. Dulu ayahanda Gus pernah sekali ikut dengan kegilaan masa muda bapak, tapi gagal. Mengapa? Bapak rasa karena ayahanda memang tidak serius. Beliau hanya serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan sekarang, lihatlah bapak dan lihatlah ayahanda Gus! Ayahanda Gus menjadi kiai besar, sementara bapak lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak yang dulu ikutan bapak mendalami ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya jadi dukun. Ini masih mendingan, ada yang malah menggunakan ilmu itu untuk menipu masyarakat dengan mengaku-aku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam yang tidak tahu, mana bisa membedakan antara karomah dan ilmu sulapan seperti itu?”
Aku tidak bisa ceritakan perasaanku melihat orang yang selama ini kukagumi menangis. Masih terdengar sesekali isaknya ketika beliau melanjutkan. “Ayahanda dan Kiai Mabrur pasti tak pernah cerita bahwa bapak ini pernah dinasihati seorang singkek tua. Karena memang bapak tak pernah menceritakannya kepada siapa pun. Sekarang ini bapak ingin menceritakannya kepada Gus. Mau mendengarkan?”
Saya hanya bisa mengangguk.
“Pernah dalam suatu perjalanan bapak, bapak kehabisan sangu. Bapak pun mampir ke sebuah toko milik seorang singkek yang sudah tua sekali. Begitu masuk toko, bapak rapalkan aji halimunan bapak. Semua pelayan dan pelanggan yang ada tak ada yang bisa melihat bapak. Bapak langsung menuju ke meja si singkek tua yang terlihat terkantuk-kantuk di kursi tingginya. Pelan-pelan aku buka laci mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak ambil semau bapak. Si singkek tua tidak bergerak. Namun begitu tangan bapak akan bapak tarik dari laci, tiba-tiba tangan keriput si singkek tua memegangnya dan langsung seluruh tubuh bapak lemas tak berdaya.
’Ilmu begini, kok kamu pamel-pamelkan,’ katanya hampir tanpa membuka mulut. “Ini nyang kamu peloleh sekian lamanya belajal, he?! Kasihan kamu olang! Ilmu mainan anak-anak begini untuk apa? Paling-paling buat gagah-gahahan ha. Siapa yang nganggep kamu gagah? Anak-anak kecil sama olang-olang bodoh dan olang-olang jahat saja ha! Ada olang pintel kagum sama kamu olang? Ada? Siapa? Olang hidup apa nyang dicali? Olang hidup cali baik buat dili sendili, kalau bisa buat olang lain. Cali senang sendili, jangan bikin susah olang lain ha!’
Pendek kata, habis bapak dinasehati. Setelah itu bapak dikasih uang dan disuruh pergi. Sejak itulah bapak tidak pernah lagi mengamalkan ilmu-ilmu gila bapak. Nasihat yang bapak dapat dari singkek tua itu sebenarnya hanyalah memantapkan apa yang lama bapak renungkan tentang kehidupan bapak, tapi bapak selalu ragu.”
Pak Kasanun memegang kedua tanganku penuh sayang. Katanya kemudian, “Kini bapak sudah mantap. Jalan yang bapak tempuh kemarin salah. Mestinya sejak awal bapak mengikuti jejak ayahanda Gus. Karena itu, Gus, sekali lagi, ikutilah jejak ayahanda dan jangan mengikuti jejak bapak ini. Carilah ilmu yang bermanfaat bagi diri Gus dan bagi sesama!”
Aku tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu datang Kiai Mabrur dan beberapa tamu kawan lamanya yang lain. Tapi aku masih mempunyai banyak waktu untuk merenungkan nasihatnya. (*)
Rembang, 29 September 2002
Cerpen : Lebaran Tinggal Satu Hari Lagi
27 Oktober 2005 22:00:02
Oleh : A. Mustofa Bisri
Saat pamit dua minggu yang lalu, suaminya berjanji akan pulang
sebelum lebaran. Kini lebaran sudah tinggal satu hari dan belum ada
kabar berita dari suaminya itu. Hatinya jadi gelisah. Sebetulnya
suaminya pergi seminggu-dua minggu sudah biasa. Selama ini dia sama
sekali tidak pernah merasa gelisah. Tapi ini menjelang lebaran. Selama
ini mereka selalu berlebaran bersama. Mungkin juga berita-berita yang
selalu didengarnya, turut mempengaruhi batinnya.
Setelah ledakan bom di Bali, tampaknya semua orang
bisa saja diciduk aparat. Setiap rumah bisa digeledah polisi. Seperti
beberapa orang yang dicurigai polisi itu, dia juga tidak begitu
mengetahui kegiatan suaminya di luaran. Selama ini, sebagai orang yang
berasal dari desa yang dikawin orang kota, dia merasa tidak pantas bila
bertanya macam-macam urusan lelaki. Jika suaminya bilang bisnis, itu
sudah cukup baginya; dia tidak pernah kepingin tahu bisnis apa. Tapi
sekarang, dia mulai was-was. Jangan-jangan apa yang dibilang suaminya
bisnis itu merupakan kegiatan seperti yang dilakukan oleh mereka yang
saat ini dicurigai polisi itu. Ah, tapi tidak. Suaminya orangnya lembut
dan tidak neko-neko. Tidak mungkin. Tapi kebanyakan yang ditangkap
polisi itu sepertinya juga tidak tampak sangar dan neko-neko. Ah.
Sehabis menidurkan anak semata wayangnya, Siti sembahyang Isya’.
Tidak seperti biasanya, kali ini doanya panjang sekali. Semua doa yang
dihafalnya dibaca semua, bahkan ditambah doa dengan bahasa ibunya. Dia
pernah mendengar dari seorang kiai, doa menggunakan bahasa ibu, terasa
jauh lebih khusyuk. Ternyata benar. Air matanya sampai berlelehan saat
dia meminta keselamatan suaminya.Dia teringat semua kebaikan suaminya yang selama ini tidak begitu ia perhatikan. Bicaranya yang selalu lembut kepadanya. Jika pulang dari bepergian, jauh atau dekat, selalu tidak lupa membawa oleh-oleh untuk dirinya dan anak mereka. Bila memberi uang, suaminya tidak pakai hitungan. Seringkali, belum sempat dia meminta, suaminya seperti sudah tahu dan langsung memberikan uang yang ia perlukan. Tidak jarang suaminya, jika sedang di rumah, ikut membantunya; tidak hanya momong anak, tapi juga mencuci dan di dapur.
Siti tersenyum sendiri, teringat ketika suaminya berlelelahan air matanya saat membantunya merajang bawang merah. “Ya Allah, lindungilah suamiku! Jauhkanlah dia dari segala mara bahaya!”
Ketika kemudian Siti merebahkan badannya di sisi anaknya yang pulas, dia masih terus berzikir. Tiba-tiba terdengar suara orang menggedor-gedor pintunya. Buru-buru Siti meloncat turun. Sejenak dia merasa lega. Ini pasti suaminya. Alhamdulillah. Namun betapa kagetnya ketika baru saja dia membuka pintu, beberapa orang berhamburan masuk. Semuanya berwajah waspada atau lebih tepatnya angker.
“Kami petugas,” kata salah seorang di antara mereka, “Kami mendapat perintah mencari suami Anda. Anda istri Mat Soleh?”
Siti hanya mengangguk asal mengangguk. Pikirannya tak karuan. Ketika dilihatnya orang-orang itu menyebar ke seluruh ruang rumahnya, yang terpikir oleh Siti hanyalah anaknya yang sedang tidur. “Tolong jangan terlalu berisik!” pintanya, “anak saya baru saja tidur.”
Tapi tak ada gunanya. Dari biliknya, Intan, anaknya yang baru berumur lima tahun itu sudah keluar sambil menangis, memanggil-manggilnya. Siti segera menghambur memeluk buah hatinya itu sambil berusaha menenangkannya. “Bu, takut! Siapa mereka ini, Bu?” tanya si anak masih sesenggukan.
“Syhh, syhh, tidak ada apa-apa, sayang. Bapak-bapak ini petugas yang sedang mencari sesuatu.” Siti asal menjawab. “Bapal-bapak inilah yang sering ibu ceritakan sebagai pelindung-pelindung kita.”
Orang-orang itu mengobrak-abrik seisi rumah. Tak ada satu benda pun yang selamat dari pemeriksaan mereka. Bahkan grobok tempat makanan pun mereka udal-udal, entah mencari apa? Salah seorang di antaranya mencecar Siti dengan pertanyaan-pertanyaan tentang suaminya. Kapan kenal, kapan kawin, bagaimana kelakuannya selama ini; dan kapan terakhir bersama suaminya. Semua pertanyaan dijawab Siti apa adanya. Setelah puas dan tidak mendapatkan apa yang mereka cari, seorang di antara mereka pun memberi isyarat pergi. Namun sebelumnya dia masih sempat mengatakan kepada Siti bahwa mereka akan datang lagi.
Begitu mereka keluar, Siti buru-buru menutup pintunya sambil berdoa semoga mereka tidak berubah pikiran dan balik lagi. Dia kembali menidurkan anaknya dan berbaring di sampingnya dengan pikiran yang kalut. Ternyata apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Suaminya dicari polisi. Bagaimana mungkin. Seingatnya, suaminya tidak pernah bohong dan menyembunyikan sesuatu kepadanya. Kalau benar dugaan polisi, pastilah Mat Soleh, suaminya itu, aktor yang luar biasa. Atau dia yang terlalu lugu sebagai istri, sehingga suaminya merahasiakan sesuatu selama ini tanpa sedikit pun dia mengetahuinya. Jadi selama ini suaminya pergi tidak untuk bisnis seperti yang dikesankan kepadanya. Ah, terlalu kau, Kang. Tega benar kau mendustaiku.
Besok paginya, koran-koran memuat berita tentang temuan baru polisi dengan huruf besar di halaman depan. “Polisi Menemukan Tokoh Intelektual Pengeboman Bali”; “Diduga Otak Pengeboman Bali Berinitial MS”; “Polisi Sedang Mencari Mat Soleh, Otak Pengeboman di Bali”. Semua menceritakan pernyataan dari Tim Investigasi yang mengatakan bahwa berdasarkan penyelidikan terhadap para tersangka, telah ditemukan tokoh intelektual pengeboman di Bali yang selama ini dicari-cari. Diceritakan juga bahwa polisi sudah melakukan penggerebekan di rumah tersangka, namun tidak menemukan tersangka yang dicari. Juga dilaporkan bahwa rumah tersangka juga telah digeledah, namun polisi tidak menemukan apa-apa.
Siti tidak bisa membendung tangisnya. Sambil mengelus-elus anaknya, dia terus mengucap doa, “Ya Tuhan, selamatkan suamiku! Selamatkan suamiku!” Tiba-tiba dirasanya ada seseorang yang memeluknya dari belakang.
“Hei, ada apa ini?” Terdengar suara lirih, “Ada apa dengan suamimu? Ini suamimu telah datang, sayang. Kenapa pintu tidak dikunci? Sengaja menungguku, ya? Lihat. Seperti janjiku, aku datang sebelum lebaran.”
Siti kaget. Dibalikkan tubuhnya dan masya Allah, dilihatnya suaminya tersenyum dengan lembut. Dipagutnya suaminya dan diciuminya kedua pipinya habis-habisan. Meski bingung, suaminya hanya tertawa-tawa saja melihat kelakuan istrinya yang tidak seperti biasanya. Mungkin rindu, pikirnya. Atau mungkin karena merasa bahagia karena dia menepati janji dan mereka bisa berlebaran bersama.
Setelah melepaskan suaminya, Siti tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya bertanya ada apa, Siti tidak menjawab. Hanya terus tersenyum-senyum sendiri. Juga ketika suaminya keluar akan ke kamar mandi, Siti masih tersenyum-senyum sendiri; kali ini sambil mendesiskan syukur, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil Hamdu! (*)
Rembang, akhir Ramadan 1423 H
Cerpen: Mbok Yem
5 Januari 2006 18:13:09
Oleh: A. Mustofa Bisri
Alhamdulillah, sebelum wukuf di Arafah aku bisa
menemukan ibu dan adikku di pondokan mereka di Mekkah. Mereka tinggal di
kamar yang sempit bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing menempati
kapling semuat dua orang yang hanya diberi sekat kopor-kopor. Di
tengah-tengah ada sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-macam
makanan dan peralatan makan. Ibu memperkenalkan saya kepada kawan-kawan
kelompoknya.
Ini anak saya yang belajar di Mesir;” katanya bangga. “Sudah empat tahun tidak pulang.”
Malu-malu saya menyalami mereka satu per satu. Di antara mereka itu
ada dua sejoli yang sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-laki
dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi. Beberapa tahun lebih tua dari
Mbok Yem, istrinya. Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam, Mbok Yem
orangnya ramah dan banyak bicara, mendekati ceriwis.Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja. Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot manja di pundak Mbah Joyo.
“Pak, kita beruntung ya,” katanya sambil mengelus rambut suaminya yang putih bagai kapas. “Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing manasik kita.” Lalu ditujukan kepadaku, “Bukan begitu, Nak Mus?”
Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
“Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan mengantar kita ke mana-mana,” katanya lagi. “Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai njoget jika Mbok Yem masak sayur asem.”
“Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah,” tukas ibuku. “Jadi di sini pengalamannya tidak lebih banyak dari kita-kita ini.”
“Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab; jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai bahasa isyarat, kaya orang bisu.”
Orang-orang pada ketawa.
“Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini bersama kita,” kata salah seorang jamaah sambil menyodorkan segelas teh. “Terima kasih!” aku menyambut teh panas yang disodorkan.
“Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?” tanya yang lain.
“Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain,” kataku, “tapi tidak jauh dari sini kok. Saya bisa sering kemari.”
“Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana saja tanpa khawatir,” kata Mbok Yem lagi sambil memijit-mijit lengan Mbah Joyo. “Kita punya pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa Arab.”
“Kamu ini bagaimana,” Mbah Joyo yang dari tadi hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba angkat bicara. “Nak Mus ke sini ini kan bukan untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka pasti ingin berkangen-kangenan.”
“Ya, saya tahu,” sahut Mbok Yem sambil mleroki suaminya. “Saya juga tidak bermaksud menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak bila mereka ke masjid atau ke mana saja.”
“Enak saja!”
“Sudah, sudah,” kata ibuku memotong. “Sudah jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke masjid!”
***
Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa bergabung bersama rombongan ibu. Malam menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang luas yang menjadi seperti lautan tenda itu. Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem dan Mbah Joyo –anggota rombongan yang paling tua– sedikit pun tidak memperlihatkan tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari belum begitu mengganggu dengan sengatan panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh mata memandang, putih-putih tenda dan putih-putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari kejauhan tampak “bukit manusia” dengan puncak sebuah tugu yang juga berwarna putih. “Apakah itu Jabal Rahmah?”
“Ya, itulah Jabal Rahmah.”
“Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari sorga?”
“Wallahu a’lam ya, tapi memang banyak yang percaya.”
“Apa kita akan ke sana?”
“Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah, beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa lebih khusyuk.”
Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-kawan jamaah masih membawa kesan mereka dari melihat panorama yang belum pernah mereka saksikan itu.
“Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja ya?”
“Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-merahan.”
“Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih semua, masya Allah!”
Semua yang berbicara itu mengarahkan pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku memang mereka tunggu. Atau ini hanya perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. “Kata guru saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di padang Makhsyar, ketika semua orang dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata; semuanya sama. Semuanya digiring di padang terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan dimintai pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama hidup di dunia.”
Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi kemah pun terdiam. Sampai datang seorang petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap untuk acara salat bersama –Dhuhur dan Asar– dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir dan berdoa.
Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah… Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang lain.
***
Malam ketika arus air bah kendaraan dan manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan Mbah Joyo.
Menjelang dini hari kami sampai wilayah Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu tampak semakin memperindah panorama Masy’aril Haram. Bus kami berhenti dan rombongan berhamburan turun dalam gelap, mencari batu-batu kerikil untuk melempar Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat beberapa kendaraan juga sedang parkir, menunggu para penumpangnya mencari kerikil.
“Jangan jauh-jauh!” terdengar suara ketua rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa. Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada petugas yang menurut mereka hanya pandai bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-itu yang tidak jelas peruntukannya.
Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut membantu ketua rombongan meneriaki dan bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus –orang Mesir– sudah ngomel-ngomel terus sambil naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama para penumpangnya menuju Mina.
Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski ada di antara mereka yang sambil menggerutu, “Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-buru?”
“Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai Mina,” aku mencoba menyabarkan si penggerutu.”Lagi pula kita kan di sini sudah melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap.”
Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar Mbok Yem teriak histeris, “Mbah Joyo! Mana Mbah Joyoku?!” Seketika semuanya baru menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali. Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem, mencoba menenangkannya.
“Tenanglah, Mbok Yem,” bujuk ibuku sambil merangkul perempuan tua itu. “Mbah Joyo tidak ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya.”
“Iya, Mbok,” adikku ikutan membujuk. “Kalau pun Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus yang ahli menemukan orang kesasar. Percayalah.”
“Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar, saya nanti yang akan menghubungi polisi atau petugas yang lain,” aku menimpali. “Mbah Joyo pasti kembali bersama kita lagi.”
Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku tidak begitu yakin dengan apa yang kami katakan. Namun alhamdulillah, meski masih terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak tenang. “Mbah Joyo itu penyelamatku!” desisnya berkali-kali.
Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki, termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di luar area tempat mereka tadi mencari kerikil, sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan sepakat akan meneruskan perjalanan sambil mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah. Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
***
Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung, tidak lama mencari, kami telah sampai kemah maktab kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang duduk bersila menyantap buah anggur dari pinggan besar yang penuh aneka buah-buahan. (Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir, dll).
Mbok Yem langsung menjerit, “Mbah Joyo!” dan menghambur serta memeluk dan menciumi suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku keheranan. Baru kemudian meluncur hampir serempak, “Alhamdulillaaaah!”
Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok Yem. Semuanya gembira.
“Sudah dulu, Mbok Yem,” tegur ketua rombongan, “nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah Mbah Joyo bercerita dulu.” Kemudian kepada Mbah Joyo, “Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja semalam?”
“Iya, Mbah,” sela yang lain, “Sampeyan salah masuk bus ya?!”
“Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini ini ceritanya bagaimana?” tanya yang lain lagi.
“Mbah Joyo sudah melempar jumrah ’aqabah?”
Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum. “Lihat, kan saya sudah pakai piyama!” Kemudian bercerita seperti sedang menceritakan sebuah dongeng.
“Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus. Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua, katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari, disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya dibangunkan dan diajak melempar jumrah ’aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi. Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit dan katanya sebentar lagi kalian akan datang. Dan ternyata dia benar.”
“Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?”
“Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya.”
“Ajaib!”
***
Sesudah selesai melempar jumrah ’aqabah, rupanya jamaah sudah tak tahan lagi. Mereka bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar dan ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki ibuku. “Mumpung Mbah Joyo tidur,” katanya. Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok Yem, tak terasa kami berdua akhirnya terduduk juga.
Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem ternyata dulunya adalah WTS –sekarang “diperhalus” istilahnya menjadi Pekerja Seks Komersial– dan Mbah Joyo adalah “langganan”-nya yang dengan sabar membuatnya sadar, mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan membuka warung makan kecil-kecilan. Dan sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka: naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Ternyata baru setelah setua itu, uang yang mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.
“Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar hilang,” kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya. “Sehingga kami berdua masih berkesempatan menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas, kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini.”
Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan tubuhnya di sisi ibuku. ***
2 Maret 2006 16:36:10
![](http://www.gusmus.net/fileuser/Image/gpu-lukisan_kaligrafi.jpg)
Menurut Hardi, kedatangannya di samping silaturrahmi,
ingin berbincang-bincang dengan Ustadz Bachri soal kaligrafi. Ustadz
Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera
menyambutnya antusias.
Namun, ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang
aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpresionis, dadais,
dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang
perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru dengar kali
itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan
khususnya seni rupa.Yang membuat Ustadz Bachri agak kaget, ternyata, meskipun sudah sering pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya dalam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai dengan makna ayat. Ada hurufnya yang ia bentuk seperti mega, burung, macan, tokoh wayang, dan sebagainya.
Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang -meskipun agak sok- telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama seni rupa.
***
RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkannya sampai pintu. Nah, sebelum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu, lalu katanya, “Itu tulisan apa? Siapa yang menulis?”
Ustadz Bachri tersenyum, “Itu rajah. Saya yang menulisnya sendiri.”
“Rajah?”
“Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah penangkal jin.”
“Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?” Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu.
“Pakai kalam biasa dan tinta cina dicampur sedikit dengan minyak za’faran. Katanya minyak itu termasuk syarat penulisan rajah.”
“Wah,” kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.”
“Saya? Saya melukis kaligrafi?” katanya sambil tertawa spontan.
“Tidak. Saya serius ini,” tukas tamunya, “sampeyan mesti melukis kaligrafi. Goresan-goresan sampeyan berkarakter. (“Ini apa pula maksudnya?” Ustadz Bachri membatin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi, kawan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya!”
Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal mengangguk.
Setelah tamunya itu pergi, dia benar-benar terobsesi untuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia oret-oret kertas, menuliskan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke kota untuk sekadar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membeli kanvas, cat, dan kuas.
Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia datang dari kota dengan membawa oleh-oleh peralatan melukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk “sanggar melukis”.
Mungkin tidak ingin diganggu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mulai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh, dia baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, berserakan beberapa kanvas yang sudah belepotan cat tanpa bentuk. Di antaranya sudah ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali. “Ternyata sulit juga melukis itu,” katanya suatu ketika dalam hati, “enakan menulis pakai kalam di atas kertas.”
Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.
Sampai akhirnya, ketika seorang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya-atau, alhamdulillah, sudah berhasil-menyerahkan sebuah “lukisan”.
Ketika sang kurir menanyakan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi kemudian dia hanya mengatakan terserah. “Bilang saja kepada Mas Hardi, terserah dia!” katanya.
Dia sama sekali tidak menyangka.
***
MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkali-kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran-di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak.
Dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap di antara pengunjung. Dari kejauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menikmatinya. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya di antara deretan lukisan-lukisan kaligrafi yang di pajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona. Apalagi dipasang sedemikian rupa dengan pencahayaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lukisan. “Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?”
Sampai akhirnya, ketika acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ramai mengamati lukisan-lukisan yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara jejalan pengunjung, belum juga menemukan lukisannya. Tiba-tiba terbentik dalam kepalanya “Jangan-jangan lukisanku diapkir, tidak diikutkan pameran, karena tidak memenuhi standar.” Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba justru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan diri di balik punggung para pengunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-nerangkan kepada sekerumunan pengunjung yang menggerombol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup banyak kepala yang sedang memperhatikannya.
“Lha ini dia!” tiba-tiba Hardi berteriak ketika melihatnya. Dia jadi salah tingkah dilihat oleh begitu banyak orang, “Ini pelukisnya!” kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya, “Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor dari Jakarta, ingin membeli lukisan sampeyan.” Astaga, ternyata lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lukisan yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang membuatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ternyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga mengarang judul yang hebat-hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca angka dalam keterangan harga. Dia hampir tidak mempercayai matanya: 10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila!
“Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;” tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya, “apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”
Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya, “Selamat, lukisan sampeyan dibeli beliau ini!”
“Katanya, Anda baru kali ini ikut pameran,” kata si bapak kolektor lagi tanpa memperhatikan air mukanya yang merah padam, “teruskanlah melukis dari dalam seperti ini.”
(“Melukis dari dalam? Apa pula ini?” pikirnya)
Wartawan-wartawan menyuruhnya berdiri di dekat lukisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanyaan para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa?
Besoknya hampir semua media massa memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang dirinya dan lukisannya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, melengkapi pemberitaan itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama sekali tidak tampak lukisan alifnya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas kosong!
Beberapa hari kemudian, beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan alifnya yang menggemparkan. Tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb. Seperti ketika pameran dia asal menjawab saja.
Ketika makan siang, istri dan anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan alifnya itu pula.
“Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti wartawan?!” teriaknya kesal.
“Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian mahalnya?” tanya anak sulungnya.
“Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?” tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan kakaknya, “mengapa tidak sekalian Bismillah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?”
Istrinya juga tidak mau kalah rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya.
“Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?”
Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada keluarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan di rumah.
“Begini,” katanya sambil menyantaikan duduknya; sementara semuanya menunggu penuh perhatian,
“terus terang saja; saya sendiri sama sekali tidak menyangka. Kalian tahu sendiri, saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang pelukis itu. Saya merasa tertantang.”
“Saya sendiri baru menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatalkan keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus.”
“Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis besar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?”
Ustadz Bachri berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, “Ketika saya sudah siap akan melukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini, lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mulailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namun, ketika saya pandang-pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja.”
“Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?” sela si bungsu.
“Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bingung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lukisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Termasuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu.”
“Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya,” tukas istrinya, “sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?”
“Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf alifnya. Mungkin, ya karena silver di atas putih itu yang membuatnya tak tampak ketika difoto.”
Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. *
29 September 2005 23:37:09
Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh
pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfar-lah
yang paling menarik perhatian masyarakat. Mungkin Gus Jakfar tidak
sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia mempunyai keistimewaan
yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, malah konon beberapa
pejabat tinggi dari pusat memerlukan sowan khusus ke rumahnya setelah
mengunjungi Kiai Saleh. Kata Kang Solikin yang dekat dengan keluarga
ndalem, bahkan Kiai Saleh sendiri segan dengan anaknya yang satu itu.
“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau
sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang
sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu. “Saya sendiri tidak
paham apa maksudnya.”
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar kan juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet. “Kalian kan
mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV
itu, ‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek
menghirup nafas ya?’ Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “Matanya itu lho. Sekilas saja mereka melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini yang anak penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sabrang kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, ‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.”
“Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil, “Nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya malah mengalami sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara. “Waktu itu, tak ada hujan tak ada angina, Gus Jakfar bilang kepada saya, ‘Wah, saku sampeyan kok mondol-mondol; dapat proyek besar ya?’ Padahal saat itu saku saya justru sedang kemps. Dan percaya atau tidak, esok harinya saya memenangkan tender yang diselenggarakan Pemda tingkat propinsi.”
“Apa yang begitu itu disebut ilmu kasyaf?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
***
Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata, dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan. “Wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Ke mana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu;” kata Lik Salamun. “Kalau saja kita tahu ke mana beliau pergi, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah.”
“Tapi, bagaimanapun ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil. “Paling tidak, kini kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka, jangan kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jum’at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak mengajar; rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa rasa segan, was-was dan takut.
Setelah ngobrol ke sana kemari, akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan: “Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti. “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet, “kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca, bahkan diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama. Baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan, “Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian ingat, saya lama menghilang?” akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin bahwa dia benar-benar siap untuk bercerita. Maka serempak kami mengangguk. “Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km kea rah selatan. Namanya Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing.”
“Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada Wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata, ketika sampai di sana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak ke sana kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.”
‘Cobalah nakmas ikuti jalan setapak di sana itu’ katanya. ‘Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil; terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah, kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?’
‘Kiai Tawakkal.’
‘Ya, Kiai Tawakkal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.’
“Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu.”
“Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sosoknya sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.”
Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan tgerganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar dan berbunyi ‘Ahli Neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gambling. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurati sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila!”
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjialan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir,dsb.; mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semacamnya. Kalaupun beliau keluar, biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau- dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata, kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’, saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir, inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat Kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati saya membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, Kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan ke mana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba Kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong saya mendekati warung terpencil dengan penerangan petromak itu. Dua orang wanita- yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua- dengan dandanan yang menor sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit ke sana kemari. Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini.
‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai yang saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang disampingnya untuk bergeser, ‘Kasi kawan saya ini tempat sedikit!’ Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, Kiai memperkenalkan saya. Katanya, ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya’. Mereka yang duduknya dekat serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh melambaikan tangan”.
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar Kiai menawari, ‘Minum kopi ya?!’ Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, Yu!’ kata Kiai kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggan warung ini! Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan ‘kawan-kawan’-nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap dan pandangan saya terhadap beliau berubah.”
‘Mas, sudah larut malam,’tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya. ‘Kita pulang, yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, Kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebon sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui. ‘Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!’ katanya.”
“Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai. ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu. ‘Kita istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian. ‘Kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’
Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, Kiai berkata mengejutkan, ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kaucari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kaubaca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’ Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
‘Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda “Ahli Neraka” di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena, pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia memasukkan diriku ke sorga atau neraka. Untuk memasukkan hamba-Nya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung yang tadi kau pandang sebelah mata itu pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat dengan-Nya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya. ‘Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi; kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur; ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan: godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.
‘Ayo kita pulang!’ tiba-tiba Kiai bangkit. ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya. ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’
‘Beliau di mana?’ tanya saya buru-buru.
‘Mana saya tahu?’ jawabnya. ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan ke mana beliau pergi.’
Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil mengubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi suntuk mendengarkan masih diam tercenung sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya.
Rembang, Mei 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar