"Disadur dari Kitab Mawa’idz Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Karya Syaikh Shalih Ahmad Asy-Syami"
Aminnya Para Malaikat Didengar saat Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengimami Shalat
Sahl bin Abdullah at-Tustari meriwayatkan bahwa, pada suatu hari para
pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad mencari-cari guru
mereka. Ke mana-mana mereka mencari namun tak juga diketemukan. Ketika
seseorang mengatakan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan ke
arah sungai Tigris, mereka bergegas ke sana. Setibanya di sana, mereka
melihat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berjalan di permukaan sungai.
Mereka melihat semua ikan muncul di permukaan dan menyalami Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Peristiwa ini terjadi pada waktu Dzuhur.
Mereka melihat permadani luas terhampar di atas kepala mereka, dan
menutupi angkasa. Pada permadani itu tertulis ayat dengan tinta emas dan
perak: “Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS.
Yunus ayat 62). “Para malaikat berkata: “Apakah kamu merasa heran
tentang ketetapan Allah? (Itu) rahmat Allah dan keberkahanNya,
dicurahkan atasmu hai Ahlul Bait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi
Maha Pemurah.” (QS. Hud ayat 37).
Layaknya permadani terbang
Nabi Sulaiman As., permadani itu terbang melayang lalu turun ke tanah.
Dengan rasa takjub , tenang dan tentram, orang-orang berjalan menuju
permadani itu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang tampak megah dengan
pakaian yang indah juga melangkah ke arah permadani, lalu menjadi imam
shalat.
Ketika Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengangkat
tangannya dan mengucapkan: “Allahu Akbar,” seluruh angkasa menggemakan
kalimat yang sama. Ketika beliau shalat, para malaikat tujuh lapis
langit secara tertib mengikuti beliau.
Ketika beliau mengucapkan: “Alhamdulillah,” sinar kehijauan memancar dari mulut beliau dan menyebar ke seluruh angkasa.
Di akhir shalat, seraya menengadahkan tangan beliau berdoa: “Ya Allah,
demi leluhurku dan kekasihMu Muhammad Saw., dan demi para hambaMu yang
bertakwa dan mencintaiMu, jangan cabut nyawa para pengikutku kecuali
jika dosa-dosa mereka telah diampuni dan iman mereka telah
disempurnakan.”
Semua hadirin mendengar para malaikat bersamaan
berucap: “Aamiin.” Mereka mengikuti aminnya para malaikat. Lalu mereka
semua mendengar suara dari dalam diri mereka sendiri: “Bergembiralah.
Aku telah mengabulkan doamu.”
Rasulullah Saw. bersabda: “Syaikh
yang sempurna laksana nabi bagi para pengikutnya. Dan sesungguhnya
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani termasuk diantara syaikh yang sempurna
yang telah membukkan pintu kebahagian dunia ini untuk para pengikutnya
dan pintu surga di akherat kelak.”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani telah berhasil menaklukan nafsunya dan telah berhasil menjadi
manusia sempurna berkat ilham dan perintah Nabi Saw. Beliau menjadi
guru yang punya hubungan kuat dengan manusia dan niat kuat meneladani
Nabi Muhammad Saw.
Ketika Empat Istri Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Mengadu
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memiliki empat orang istri, yang semuanya
sangat setia dan taat kepada beliau. Dari ke empat istri beliau, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani memiliki 49 anak, 27 laki-laki dan 22 perempuan.
Suatu hari, istri-istri beliau mendatangi beliau dan berkata: “Wahai
pemilik akhlak yang mulia, anak bungsumu wafat dan kami tak melihatmu
menangis atau bersedih. Tidakkah kau menyanyangi orang yang menjadi
bagian dari dirimu? Kami sangat berduka, tetapi engkau tetap sibuk
dengan urusanmu seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau adalah pemimpin,
pembimbing dan harapan kami di dunia maupun di akherat. Tetapi, hatimu
sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar kepadamu di hari kiamat dan
berharap kau dapat menyelamatkan kami?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani menjawab: “Sahabat-sahabatku tercinta, jangan pernah mengira
hatiku keras. Aku mengasihi orang kafir karena kekafiran mereka. Aku
mengasihi anjing yang menggigitku dan berdoa kepada Allah agar tidak
menggigit orang lain dimana mereka akan melemparinya dengan batu.
Tidaklah kalian tahu bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang
telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam?”
Para
istri beliau berkata: “Engkau mengasihi bahkan kepada anjing yang
menggigitmu, tetapi mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas anakmu
yang telah dipenggal pedang kematian?”
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berkata: “Duh sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis
karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Kau melihat anakmu dalam
mimpi duniawi dan kau kehilangan dia dalam mimpi yang lain. Allah
berfirman: “Dunia ini adalah mimpi.” Dunia ini adalah mimpi bagi
orang-orang yang tidur. Sementara aku tetap terjaga. Aku melihat anakku
ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia telah keluar dari
lingkaran itu. Aku masih melihatnya, dan ia tetap bersamaku. Ia sedang
bermain di dekatkku persis seperti saat-saat sebelumnya. Ketahuilah,
jika kau melihat dengan mata hati, baik dalam keadaan hidup maupun mati,
kebenaran tidak akan pernah hilang.”
Godaan Setan kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan para
pengikut beliau berjalan kaki di padang pasir dan saat itu padang pasir
benar-benar panas. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bercerita:
“Aku merasa sangat lelah dan dahaga. Para pengikutku berjalan di
depanku. Tiba-tiba sekumpulan awan muncul di atas kepala, seperti payung
yang melindungi kami dari terik matahari. Di depan kami muncul sebuah
mati air yang jernih dan sebatang pohon kurma penuh dengan buah yang
telah masak.
Lalu, muncullah cahaya yang lebih terang dari
matahari. Dari arah sinar itu terdengar suara: “Hai umat Abdul Qadir,
akulah Tuhan! Makan dan minumlah, sebab telah kuhalalkan untukmu apa
yang kuharamkan atas orang lain.”
Para pengikutku yang berada
di depanku berlarian menuju mata air dan pohon kurma itu. Aku berteriak
menghentikan mereka. Kutantang sinar itu seraya berteriak: “Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk!”
Seketika,
awan, cahaya, mata air dan pohon kurma itu lenyap. Setan itu berdiri di
depan kami dengan rupa yang sangat buruk. Ia bertanya: “Bagaimana kau
mengenaliku?”
Kukatakan pada setan terkutuk yang telah diusir
dari rahmat Allah itu: “Firman Allah bukanlah dalam bentuk suara yang
dapat didengar telinga. Selain itu, aku tahu hukum Allah bersifat tetap
dan berlaku atas semua orang. Dia takkan mengubahnya atau menghalalkan
yang haram bagi sekelompok orang yang disukaiNya.”
Mendengar
ucapanku, setan menggoda agar aku menjadi angkuh: “Hai Abdul Qadir, aku
telah memperdaya tujuh puluh nabi dengan muslihat ini. Sungguh ilmu dan
kebijaksanaanmu lebih tinggi daripada nabi.”
Kemudian setan itu
menunjuk ke arah pengikutku dan berkata: “Hanya sebanyak inikah
pengikutmu? Seharusnya seluruh dunia menjadi pengikutmu karena kau
laksana nabi.”
Lalu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani: “Aku
berlindung darimu kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Bukan ilmu atau kebijaksanaanku yang dapat menyelamatkanku darimu,
melainkan kasih sayang Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
memandang bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Beliau melakukan
segala sesuatu hanya karena Allah, dan tidak menisbatkan sesuatupun pada
makhluk, termasuk kepada beliau sendiri. Beliau selalu mengerjakan apa
yang beliau katakan. Beliau anggap sama, baik pujian atau cercaan,
manfaat atau mudharat. Ilmu beliau luas dan kebijaksanaan tinggi, bagi
beliau, orang berilmu dan tak mengamalkan ilmunya laksana keledai yang
membawa buku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani dan Ilmu Filsafat
Salah seorang syaikh yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh Mudzaffar Manshur bin al-Mubarak al-Wasithi, meriwayatkan:
“Aku mengunjungi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersama beberapa
muridku. Aku membawa sebuah buku filsafat. Beliau menyalami dan
memandang kami lalu berkata kepadaku: “Betapa kotor dan buruknya sahabat
yang kau genggam itu. Pergi dan cucilah tanganmu.”
Aku
terkejut mendengar ucapan marah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Tak
mungkin beliau mengetahui isi buku yang memang kusukai dan nyaris
kuhafal itu. Terlintas pikiran untuk berdiri dan menyembunyikan buku itu
di suatu tempat untuk diambil kembali saat pulang.
Baru saja
aku hendak bangkit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapku tajam dan
aku tak dapat berdiri. Beliau memintaku menyerahkan buku itu. Sebelum
kuberikan, aku membukanya untuk terakhir kali. Namun, tak ada satupun
hurup yang kulihat. Semuanya kosong. Putih. Semua yang tertulis di sana
telah hilang.
Setelah menerima buku itu, beliau amati apa yang
ada di dalamnya lalu menyerahkannya kembali kepadaku seraya berkata:
“Inilah keutamaan al-Quran yang ditulis oleh Daris.”
Kuterima
dan kubuka buku itu. Ternyata, buku filsafat itu telah diubah menjadi
Fadhail al-Quran karya Ibn Daris, dengan tulisan yang sangat indah.
Kemudian beliau berkata: “Maukah kau bertaubat dengan lisan dan hatimu?”
“Ya.” Jawabku.
“Berdirilah.”
Ketika aku bangkit, kurasakan semua ilmu filsafatku luruh dari
fikiranku dan jatuh ke tanah. Tak satu pun kata mengenainya yang tersisa
dalam fikiranku.”
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Dapat Membaca Pikiran Para Muridnya
Dikisahkan bahwa sekelompok orang berkumpul dekat Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani, berharap dapat mendengarkan ceramah beliau. Namun, Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani duduk sangat lama tanpa berkata sepatah katapun.
Jamaah juga duduk menanti dengan tenang.
Tiba-tiba mereka
diliputi kenikmatan. Pikiran dan imajinasi mereka seakan-akan hilang.
Lalu semuanya secara berbarengan memikirkan hal sama: “Apa yang tengah
dipikirkan syaikh.”
Secepat pertanyaan itu muncul dalam pikiran
mereka, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Baru saja seseorang
tiba-tiba datang dari Makkah bertaubat di depanku lalu pulang kembali.”
Jamaah berfikir serentak: “Mengapa orang yang dapat terbang langsung dari Makkah ke Baghdad perlu bertaubat?”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Terbang di udara adalah satu
hal, namun merasakan cinta adalah hal lain. Aku telah mengajarinya
bagaimana mencinta.”
Syaikh Abdullah Zayat mengkisahkan bahwa
ketika itu tahun 560 H. Aku menjadi salah seorang murid di madrasah
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Suatu hari, aku melihatnya pergi
meninggalkan rumah dengan tongkat di tangannya. Aku berkata dalam hati:
“Andai saja ia memperlihatkan keajaiban melalui tongkat itu.”
Tiba-tiba ia menoleh kepadaku, tersenyum, lalu mengetukkan tongkatnya ke
pasir. Tiba-tiba tongkat berubah menjadi cahaya yang memancar ke
langit, menyinari segalanya selama satu jam. Kemudian ia memegang cahaya
itu, dan seketika berubah kembali menjadi tongkat. Beliau memandangku
lagi dan berkata: “Hai Zayat, itukah yang kau inginkan?”
Riyadhah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Melalui diri beliau, lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Kristen
menjadi Muslim. Lebih dari seratus ribu bajingan, penjahat, pembunuh,
pencuri dan perampok bertaubat dan menjadi orang shaleh. Beliau
menuturkan bagaimana beliau mencapai keutamaan itu:
“Selama 25
tahun aku berkelana di padang sahara Irak. Aku tidur di reruntuhan
bangunan. Selama 12 tahun aku menyepi di sebuah reruntuhan kastil di
Sahara Syustar, yang berjarak 12 hari perjalanan dari Baghdad. Aku
berjanji kepada Tuhanku bahwa aku tidak akan makan dan minum sebelum
meraih kesempurnaan ruhani.
Pada hari ke-40, seseorang datang
membawa setumpuk roti dan makanan, kemudian meletakkannya di depanku.
Lalu ia menghilang. Tubuhku berteriak: “Aku lapar, aku lapar!”
Nafsuku berbisik: “Janjimu telah kau tepati. Mengapa kau tidak makan?” Tetapi aku tidak melanggar sumpahku kepada Allah.
Saat itu Abu Sa’id al-Muharrami lewat di hadapanku. Ia mendengar
jeritan lapar tubuhku, meski aku tidak mendengarnya. Ia menghampiriku
dan ketika melihat keadaanku yang lemah, ia berkata: “Apa yang kulihat
dan kudengar ini, wahai Abdul Qadir?”
Jawab Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani: “Jangan hiraukan wahai sahabatku. Itu hanyalah suara nafsu
yang menantang dan tidak setia. Padahal jiwaku tunduk kepada tuhanku
dengan keadaan gembira, tenang dan bahagia.”
“Datanglah ke madrasahku di Bab al-Azj,” pinta Abu Sa’id.
Aku tak menjawabnya, namun dalam hatiku berkata: “Aku takkan meninggalkan tempat ini hingga datang perintah Allah.”
Tak lama setelah itu, Nabi Khidhir datang dan berkata: “Pergilah dan ikutlah bersama Abu Sa’id.”
Setelah menerima perintah itu, aku pergi ke Baghdad, ke madrasah Abu
Sa’id. Kudapati ia sedang menungguku di depan pintu. “Aku telah
memintamu untuk dating,” katanya. Lalu ia memberiku jubah darwis. Sejak
saat itu, aku tak pernah meninggalkannya.
Selama 40 tahun aku
tak pernah tidur malam. Aku mendirikan shalat dengan wudhu shalat
Tahajudku . Aku membaca al-Quran setiap malam untuk menghilangkan
kantuk. Aku berdiri dengan satu kaki dan bersandar ke dinding dengan
satu tangan. Aku tidak beranjak dari posisiku hingga khatam al-Quran.
Ketika rasa kantuk tak dapat kutahan, satu suara akan menyeru dan
mengejutkan seluruh tubuhku: “Hai Abdul Qadir, aku tidak menciptakanmu
untuk tidur! Kau bukan apa-apa. Kuberikan kepadamu kehidupan. Karena
itu, meskipun kau hidup, kau tidak mengenal kami.”
Suatu hari,
seseorang bertanya: “Wahai Abdul Qadir, kami mendirikan shalat, berpuasa
dan menaklukkan nafsu sepertimu. Mengapa kami tidak menerima tingkatan
ruhani yang tinggi dan mendapatkan karamah sepertimu?”
Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Pantas saja, kau hanya berusaha
menyaingiku dalam amal. Kau kira telah melakukan apa yang kulakukan,
padahal kau hanya meniruku. Kau mencerca Allah karena tidak memberimu
imbalan yang sama. Allah adalah saksiku ketika aku tak makan dan tak
minum kecuali jika Penciptaku memerintahkanku. Makan dan minumlah, kau
berhak atasnya karena aku dan demi tubuh yang telah kuberikan kepadamu.
Tak pernah kulakukan sesuatupun tanpa perintah Tuhanku.”
Ketika Hujan Takut kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Ali bin Musafir menuturkan: “Bersama ribuan orang lainnya, aku
berkumpul untuk mendengarkan ceramah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di
tempat terbuka. Ketika ia berbicara, hujan turun lebat dan sebagian
orang mulai meninggalkan majelis. Langit tertutup awan pekat. Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani lalu menengadahkan tangannya seraya berdoa: “Ya
Allah, aku telah berusaha mengumpulkan manusia demi Engkau, apakah
Engkau menjauhkan mereka dariku?”
Tak lama kemudian hujan pun
berhenti. Tak ada setetes pun air hujan turun hingga Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani selesai berceramah, meskipun di luar tempat kami berkumpul
hujan turun dengan derasnya.
Takluknya Orang Terkaya Baghdad di Hadapan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Dikisahkan bahwa Abdus Shamad bin Humam termasuk orang terkaya di
Baghdad. Ia dikenal sangat cinta dunia, sombong dan takabur. Ia bangga
telah memiliki dunia dan banyak orang yang bekerja kepadanya, ia mengira
dapat menguasi dan memerintah mereka untuk melakukan apa saja sesenang
hatinya.
Sebagai materialis sejati, ia terang-terangan tidak
menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan mengingkari karamahnya. Ia
menuturkan pengalamannya berikut ini:
“Sebagaimana kalian
ketahui, aku tak pernah menyukai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meskipun
kekayaanku berlimpah dan aku dapat memiliki apapun yang aku inginkan,
aku tak pernah merasa puas senang dan tenang.
Pada suatu
Jum’at, ketika aku lewat di dekat madrasahnya, aku mendengar adzan. Aku
berkata dalam hati: “Apa sih keunggulan orang ini, yang telah menarik
perhatian banyak orang melalui karamahnya? Aku akan shalat Jum’at di
masjidnya!”
Masjid itu telah penuh sesak. Aku merengsek
menerobos kerumunan orang dan kuperoleh tempat persis di bawah mimbar.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mulai menyampaikan khutbahnya dan apapun
yang dikatakannya membuatku jengkel.
Tiba-tiba aku merasa mulas
ingin buang hajat. Tetapi aku tak dapat keluar dari masjid. Aku takut
dan sangat malu, karena rasa mulas itu tak dapat kutahan.perasaan
jengkelku kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kian menjadi-jadi.
Namun, ketika aku dibasahi keringat dingin karena malu dan menahan
mulas, pelan-pelan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuruni tangga mimbar
dan berdiri di atasku. Seraya berkhutbah, ia menutupiku dengan bagian
bawah jubahnya. Tiba-tiba saja aku telah berada di lembah yang hijau dan
indah. Kulihat sebuah sungai kecil yang mengalirkan air yang jernih.
Segera saja aku buang hajat lalu membersihkan diri dan berwudhu. Setelah
itu, kudapati diriku kembali berada di bawah jubah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani. Ia pun kembali ke atas mimbar.
Aku sangat takjub.
Tidak hanya perutku yang merasa nyaman, hatiku pun merasa tentram, semua
kejengkelan, amarah dan kekesalan sirna sudah.
Usai shalat,
aku keluar dari masjid dan pulang. Di tengah jalan, aku sadar bahwa
kunci lemariku hilang. Aku kembali ke masjid dan mencarinya, namun tak
kutemukan.
Keesokan harinya aku harus melakukan perjalanan
niaga. Tiga hari perjalanan dari Baghdad. Kami tiba di sebuah lembah
yang sangat indah. Seakan-akan dituntun ke tepi sungai yang sangat
jernih. Aku langsung teringat bahwa di sinilah aku buang hajat dan
membersihkan diri. Kini, sekali lagi kubersihkan diri. Dan ternyataa, di
sana kutemukan kembali kunci lemariku. Sekembali ke Baghdad, aku
menjadi pengikut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menghidupkan Tulang Belulang
Karena terpikat oleh ketenaran Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seorang
perempuan dari Baghdad memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada
beliau. Ia mengantarnya kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
berkata: “Kuserahkan anakku kepadamu. Anggaplah ia sebagai anakmu
sendiri, dan besarkanlah ia seperti dirimu.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menerimanya dan mulai mengajarkan kebaikan, kesederhanaan dan penaklukan hawa nafsu.
Selang beberapa waktu, si ibu datang melihat keadaan anaknya yang
ternyata bertubuh kurus, pucat dan tengah makan roti kering. Ia marah
dan meminta bertemu dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Sang ibu
melihat syaikh berpakaian rapi, duduk di ruang yang menyenangkan dan
tengah memakan daging ayam.
“Sementara kau makan daging ayam! Anakku yang malang yang kutitipkan kepadamu tengah mengunyah sepotong roti kering.” cercanya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani meletakkan tangannya di atas tulang ayam
lalu berkata: “Dengan nama Allah yang membangkitkan tulang dari debu,
hiduplah!”
Lalu beliau angkat tangannya dan ayam itupun hidup
lalu berlari ke atas meja seraya berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah
dan Nabi Muhammad utusan Allah.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menoleh ke arah perempuan itu dan berkata: “Jika anakmu dapat melakukan
hal ini, ia dapat makan apapun yang diinginkan.”
Kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani Lebih Tinggi Daripada Leher Semua Wali
Suatu malam, lima puluh syaikh terkemuka pada zamannya di Baghdad
berkumpul di rumah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Termasuk diantaranya
adalah al-Hafidz Abu al-Izz Abdul Mughits bin Harb, yang menuturkan
kisah berikut:
“Malam itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tengah
mendapatkan ilham. Mutiara hikmah berhamburan dari mulutnya. Kami
benar-benar merasa tenang dan khusyuk, perasaan yang tak pernah kami
alami sebelumnya.
Tiba-tiba Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menunjuk ke arah kakinya dan berkata: “Kaki ini lebih tinggi daripada
leher semua wali.”
Tak lama kemudian, salah seorang muridnya,
Syaikh Ali bin al-Hili, merunduk ke kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Ditempelkannya kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ke lehernya, lalu kami
semua mengikutinya.
Diantara hadirin yang lainnya, yakni Syaikh Abu Sa’id al-Kailawi berkata: “Kaki ini lebih tinggi daripada leher wali.”
Kurasakan kebenaran Allah mewujud dalam hatiku, aku melihat semua wali
di dunia berdiri di hadapannya, menutup seluruh penglihatanku. Semua
yang hidup hadir secara jasmani, semua wali yang sudah meninggal hadir
secara ruhani, langit dipenuhi malaikat dan makhluk ghaib lainnya.
Sejumlah malaikat turun dan memberi jubah Rasulullah kepadanya. Lalu
kami mendengar suara berkata:
“Hai penguasa zaman dan
pembimbing agama, wahai pengamal firman Allah Yang Maha Pengasih, wahai
pewaris kitab suci, penerus Rasulullah, wahai orang yang diserahkan
kepadanya kekuatan langit dan bumi, yang doanya dikabulkan, jika ia
meminta hujan hujan akan turun, wahai yang dicintai dan dimuliakan
seluruh makhluk.”
Usai Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menyampaikan ucapannya itu, bukan hanya orang-orang yang ada di hadapan
beliau, melainkan semua ulama merasakan bertambahnya ilmu mereka,
kebijaksanaan mereka, cahaya Ilahi dalam hati mereka, dan tingkatan
ruhani mereka.
Ketika kejadian ini tersiar luas di seluruh
dunia Islam, semua syaikh dan guru bersujud untuk menghormati dan
menerima kepemimpinannya. Orang-orang yang berbuat dosa datang kepada
beliau untuk bertaubat dan disucikan kembali. Para bajingan, pencuri dan
penjahat datang kepada beliau lalu menjadi pengikut beliau. Dan beliau
menjadi pusat kutub ruhani.
313 wali pada zaman itu, termasuk
diantaranya 17 orang yang tinggal di kota suci Makkah, 60 di Irak, 40 di
Iran, 20 di Mesir, 30 di Damaskus, 11 di Abissinia, 7 di Ceylon, 27 di
barat, 47 di daerah terpencil di gunung Qaf, 7 di kawasan Ya’juj dan
Ma’juj, dan 24 di belahan dunia lainnya hingga di lautan. Semuanya patuh
dan tunduk, kecuali satu orang Persia.
Syaikh Persia Kuwalat karena Kesombongannya kepada Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Persia ini dikenal sangat tekun beribadah. Ia mendirikan shalat
lebih banyak dari siapapun dan terus-terusan berpuasa. Ia sering
beribadah haji ke Makkah. Ia sangat mendambakan ridha Allah. Selama lima
puluh tahun ia mengasingkan diri bersama empat ratus orang muridnya,
yang dilatih siang dan malam untuk menyempurnakan diri. Ia banyak
memiliki ilmu dan karamah.
Ketika ucapan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani sampai kepadanya. Ia tengah menunaikan ibadah haji bersama
murid-muridnya, di kota suci Makkah. Entah meremehkan Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani atau mengagungkan dirinya sendiri, ia menolak menghormati
dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Malam harinya, ia
bermimpi meninggalkan Makkah menuju Bizantium dan di sana ia menyembah
berhala. Karena sedih mendapatkan mimpi itu, ia kumpulkan semua
murid-muridnya dan mengatakan ia harus pergi ke Bizantium untuk
menyingkap makna mimpinya. Mereka mengikutinya dengan setia.
Ketika memasuki kota itu, ia melihat seorang gadis cantik berdiri di
balkon. Rambut gadis itu hitam sepekat malam, matanya laksana dua
purnama dengan alis mata tebal melengkung bagaikan bulan sabit kembar,
parasnya memikat para pecinta, bibirnya merah delima tampak basah dan
lembut. Melihat gadis itu, hati ia terbakar birahi. Lekat-lekat ia
menatapnya, hasratnya membara meruapi rongga dadanya. Karena cintanya
kepada gadis itu, agama dan iman tersingkir dari hatinya. Kecantikan
gadis itu benar-benar menjadi pemuas nafsu iblis.
Ia berdiri di
depan pintu gadis kafir itu dengan mulut terbuka seraya menatap
lekat-lekat ke arah balkon, berharap dapat melihatnya lagi. Pikirannya
terkoyak. Puasa yang dilakoni bertahun-tahun dan menguruskan badannya
tak dapat membandingkan derita yang dialami kini, begitu pikirnya. Ia
kerahkan segenap pengetahuan dan akalnya untuk memahami keadaan ini,
namun semua pengetahuan telah sirna meninggalkan dirinya.
Dengan rasa takut segan, murid-muridnya memohon kepadanya untuk pergi
bertaubat dan berdoa. Ia menjawab bahwa sekira ia harus bertaubat, ia
akan bertaubat dari kebodohan telah menyisihkan dunia dan kesenangan
hanya karena agama. Jika diharuskan berdoa, ia akan memohon kepada gadis
itu daripada kepada Allah.
Ketika diperingatkan akan adzab
Allah dan neraka, ia bilang bahwa perpisahan dengan gadis yang
dicintainya dan api cinta dalam hatinya dapat memadamkan tujuh neraka.
Mereka berusaha keras membujuk ia. Namun, melihat upaya mereka sia-sia,
mereka pun meninggalkannya.
Syaikh itu diam sebulan suntuk di
depan pintu pelacur kafir itu. Debu menjadi kasurnya dan anak tangga
sebagai bantalnya. Ia tidur di jalanan bersama anjing-anjing kudisan.
Akhirnya, si cantik kafir itu membukakan pintu dan berkata: “Hai orang
tua yang mengaku syaikh muslim, kau telah dimabuk kemusyrikan yang
membuatmu melakukan kebodohan ini di jalan kafir.”
Ia berkata: “Akan kuserahkan bukan hanya agamaku, melainkan juga jiwaku asal aku dapat menyentuh bibirmu.”
“Sungguh memalukan, kau orang tua budak nafsu. Betapa beraninya kau
menciumku sementara kau sudah nyaris masuk liang kubur. Pergilah! Tak
sudi aku menyentuhmu.”
Tanpa memperdulikan caci maki gadis itu,
ia tetap berdiam di depan pintu. Lalu, gadis itu turun lagi dan berkata
kepadanya: “Jika kau sungguh-sungguh mencintaiku, kau harus keluar dari
Islam, membakar al-Quran, menyembah berhala dan minum arak.”
Ia berkata: “Aku tak dapat sepenuhnya meninggalkan Islam dan membakar
al-Quran, tetapi aku bersedia minum arak demi kecantikanmu.”
“Kalau begitu, mari minum bersamaku, pasti kau akan mau melakukan permintaanku yang lainnya.”
Ketika gadis itu menuangkan arak, hati dan pikirannya menyala-nyala. Ia
mencoba mengingat al-Quran yang pernah dihafalnya, kitab-kitab yang
pernah dibaca, namun tak ada sedikit pun yang diingatnhya . Dalam
keadaan mabuk ia berusaha menyentuh gadis itu. Namun, gadis itu
menampiknya: “Tidak, kecuali jika kau menjadi orang kafir sepertiku dan
membakar kitab sucimu.”
Ia turuti permintaan pelacur itu.
Dilemparkannya al-Quran dan jubah sufinya ke dalam api, lalu ia
menyembah berhala. Sekali lagi ia berupaya menyentuh gadis itu. Namun,
sekali lagi gadis itu menolaknnya: “Sungguh kau tua bangka budak nafsu
yang tak tahu diri. Kau sama sekali tak punya harta, bukan pula orang
yang tenar. Bagaimana mungkin gadis sepertiku mau melayani pengenis
jorok sepertimu? Aku butuh , emas, perak dan sutera. Karena kau tak
punya apa-apa enyah saja kau dari hadapanku!”
Waktu terus
berlalu, ia masih saja berdiri di depan pintu rumah gadis itu. Akhirnya,
suatu hari, gadis itu menyerahkan dirinya sambil berkata: “Bayarlah
aku, hai orang tua yang malang, dengan menjadi penggembala babi-babiku
selama satu tahun.”
Tanpa daya, ia pun menjadi penggembala babi.
Wanita Kafir yang Mereguk Manisnya Iman di Akhir Hayatnya
Berita sedih mengenai syaikh yang tidak menghormati Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani pun tersebar luas. Murid-muridnya yang meninggalkan dirinya
telah tiba di Baghdad. Mereka berusaha menemui Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani.
Usai menceritakan keadaan guru mereka, Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani berkata: “Jika seseorang tidak tunduk dan menjadi
seekor kambing bagi seorang penggembala, ia akan menjadi penggembala
sekumpulan babi. Ketahuilah, setiap orang memiliki seribu babi, yakni
seribu berhala di hatinya, yang hanya dapat diusir dengan ketundukan dan
pertaubatan.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani juga memarahi
mereka karena meninggalkan guru mereka. Kemudian Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani berdoa bagi orang tua yang sesat itu dan meminta para
muridnya untuk kembali ke Bizantium dan memberitahu guru mereka bahwa
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya untuk kembali.
Murid-muridnya langsung pergi ke Bizantium. Sepanjang jalan mereka
selalu berdoa bagi guru mereka. Mereka berpuasa dan berdoa memohon
kepada Allah untuk memberikan pahala mereka untuk guru mereka. Mereka
bershalawat kepada Rasulullah Saw. dan meminta syafaatnya.
Anak
panah doa itu melesat mencapai sasaran. Ketika bertemu dengan orang tua
itu, mereka melihatnya bercahaya di tengah kumpulan babi. Dan ketika
diberitahukan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani memintanya menghadap, segera
ia campakkan pakaian kekafiran. Air mata penyesalan mengalir deras, dan
ia angkat tangan ke langit untuk bersyukur. Seketika itu juga semua
yang telah dilupakannya, al-Quran dan rahasia Ilahi, kembali kepadanya.
Kini ia terbebas dari kehinaan dan kebodohan, setelah itu ia mandi
berwudhu dan berangkat ke Baghdad.
Ketika peristiwa itu
berlangsung, gadis kafir itu bermimpi melihat cahaya turun kepadanya dan
mendengar suara berkata: “Ikutilah syaikhmu. Anut agamanya, jadilah
debu di kakinya. Kau yang pernah kotor, jadilah sesuci dia. Kau yang
telah menariknya ke jalanmu, kini masuklah ke jalannya.”
Ketika
bangkit dari tidur, ia rasakan perubahan pada dirinya, ia berlari
menyusul syaikh dan murid-muridnya. Tanpa makan dan minum, melewati
lembah dan pegunungan. Akhirnya, di tengah-tengah padang sahara , ia
jatuh ke tanah, ia berdoa: “Wahai Dzat yang telah menciptakan aku,
ampuni aku, jangan hukum aku. Aku telah menantang agama dan jalanMu.
Namun kulakukan itu karena kebodohanku, sebagaimana syaikhku
melakukannya karena kesombongan. Kau telah mengampuninya. Kini ampunilah
aku. Aku tunduk dan menerima agama yang benar.”
Allah
memungkinkan syaikh , yang memang belum terlalu jauh, mendengar
ucapannya sehingga ia dan murid-muridnya segera kembali dan mendapatinya
tengah berbaring. Wanita itu berkata: “Kau telah membuatku malu. Ajari
aku Islam agar aku dapat bertemu dengan Tuhanku melalui agama ini.”
Ketika syaikh menjadi saksi atas keimanannya dan para muridnya menangis
haru, wanita itu hembuskan nafas terakhirnya. Wanita itu, yang tak
lebih dari setetes air di samudera khayal, telah berpulang ke samudera
sejati. Syaikh itu pun datang ke Baghdad lalu menundukkan lehernya
dengan penuh hormat di bawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Pengaruh Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Seiring dengan semakin meluasnya pengaruh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
ke seluruh dunia, banyak murid beliau meraih kedudukan penting, dan
banyak penguasa menjadi muridnya. Ia menugaskan sebagian muridnya untuk
menjadi wakilnya sesuai dengan kemampuan, kualitas batin dan tingkatan
ruhaninya masing-masing. Sebagian mereka diangkat sebagai guru ruhani
dan sebagian lainnya menjadi hakim. Bahkan, tidak sedikit yang diangkat
sebagai gubernur dan raja.
Dikisahkan bahwa ada seorang fakir
yang telah mengabdi sebagai pembantu di rumah Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani selama empat puluh tahun. Selama itu, ia telah menyaksikan
beberapa murid yang jauh lebih muda darinya dan belum lama mengabdi,
telah ditunjuk Syaikh Abdul Qadir al-Jailani untuk menempati jabatan
penting. Suatu hari ia menghadap Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan
mengajukan permohonan. Ia telah mengabdi kepada syaikh selama
bertahun-tahun dan kini usianya semakin tua. Mengapa ia belum juga
ditunjuk untuk menempati pos penting seperti murid yang lain.
Belum lagi ia tuntas menyampaikan maksudnya, satu utusan dari India
datang. Mereka ingin Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menunjuk seorang
maharaja bagi kerajaan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatap
pembantunya itu dan berkata: “Apakah engkau menyukai jabatan ini? Apakah
engkau memenuhi syarat?” Pelayan itu mengangguk kegirangan.
Ketika para utusan itu keluar rumah, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
berkata kepada pembantunya: “Aku akan mengangkatmu sebagai raja di sana
dengan syarat kau harus berjanji untuk memberikan kepadaku separuh dari
keuntungan dan kekayaan yang kau peroleh selama berkuasa.” Tentu saja
pelayan itu menyanggupinya.
Orang tua itu bekerja di rumah
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai juru masak. Hari itu, ia harus
mengaduk hidangan yang akan disajikan. Setelah berbicara dengan Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani, ia kembali ke dapur untuk mengaduk makanan itu
di sebuah kuali raksasa dengan sendok kayu. Di tengah pekerjaan itu ia
dipanggil untuk pergi bersama para utusan itu ke India sebagai raja
mereka.
Di negeri itu, ia dinobatkan sebagai raja. Ia dapatkan
kekayaan berlimpah, ia bangun banyak istana untuk dirinya sendiri, ia
menikah dan punya seorang anak laki-laki. Ia sepenuhnya telah melupakan
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan janji yang diucapkannya.
Pada
suatu hari, ia menerima pesan bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani akan
datang mengunjunginya. Ia bersiap-siap menyambut kedatangan Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani. Setelah upacara, prosesi dan pesta yang megah, mereka
berbincang berdua. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan
kesepakatan mereka, yaitu bahwa ia harus memberikan separuh dari semua
keuntungan yang dikumpulkannya selama berkuasa. Maharaja itu jengkel
ketika diingatkan akan janjinya. Kendati demikian, ia berjanji esok lusa
ia akan menyerahkan separuh dari semua kekayaannya kepada Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani.
Keserakahan yang bertambah seiring
bertambahnya kekayaan tak membiarkannya membuat daftar kekayaan dengan
jujur. Tepat pada hari yang direncanakan, ia membawa daftar kekayaanya
itu yang menyerahkan kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Meski daftar
itu mencantumkan banyak istana dan kekayaan, semua itu hanyalah sebagian
kecil dari kekayaan yang sesungguhnya.
Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani tampak puas dengan bagian yang diperolehnya. Lalu Syaikh
Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Kudengar kau juga memiliki seorang anak
laki-laki.”
“Iya, sayangnya cuma seorang. Sekiranya ada dua, tentu akan kuberikan salah seorangnya kepadamu.”
“Tidak apa-apa, bawalah anak itu.” Tukas Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Kita tetap dapat membaginya.”
Anak itu dibawa di hadapan mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
menghunus pedangnya yang tajam tepat di atas bagian tengah kepala anak
itu. “Kau akan mendapatkan separuhnya dan separuhnya lagi menjadi
bagianku!” kata Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Sang ayah yang
ketakutan, menghunus belatinya dan kedua tangannya ditusukkan ke dada
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. Ia lakukan itu dengan mata terpejam.
Ketika membuka matanya, ternyata ia sedang mengaduk makanan di kuali
besar dengan sendok kayu. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menatapnya dan
berkata: “Seperti kau lihat sendiri, kau belum siap menjadi wakilku. Kau
belum memberikan segalanya, termasuk dirimu, kepadaku.”
Sepenuh Hidup Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Diperuntukkan kepada Allah dan RasulNya
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani telah menyerahkan dirinya kepada Allah.
Malam beliau lalui dengan sedikit atau bahkan tak tidur sama sekali
untuk Tahajjud dan tafakur. Sebagai pengikut setia Rasulullah Saw.,
beliau gunakan waktu siangnya untuk mengabdikan diri kepada umat
manusia. Tiga kali dalam seminggu beliau berceramah di hadapan ribuan
orang.
Setiap pagi dan sore beliau mengajar tafsir, hadits,
tauhid, fiqih dan tasawuf. Usai shalat Dzuhur, beliau mengisi waktu
dengan memberi nasehat kepada umat, baik pengemis maupun raja, yang
datang dari belahan dunia. Sebelum Maghrib baik ketika hujan maupun
cerah, beliau telusuri jalan-jalan untuk membagikan roti kepada kaum
fakir.
Karena berpuasa nyaris sepanjang tahun, beliau hanya
makan sekali dalam sehari setelah shalat Maghrib dan tak pernah
sendirian. Para pelayan beliau berdiri di depan pintu seraya bertanya
kepada setiap orang yang lewat apakah mereka lapar dan meminta mereka
untuk makan bersama Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.
Kewafatan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada hari Sabtu tanggal 8 Rabiu’ts
Tsani tahun 562 H/1166 M. Makam beliau yang dirahmati, yang terletak di
Madrasah Bab ad-Darajah di Baghdad telah menjadi tempat ziarah penting
bagi kaum Muslimin, dan khususnya kaum sufi.
Ketika beliau
sakit, putra beliau, Abdul Aziz melihatnya meringis menahan sakit yang
luar biasa. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bergulingan di atas tempat
tidur. “Jangan cemaskan aku.” Kata beliau kepada putranya. “Aku telah
tengah berubah terus menerus dalam pengetahuan Allah.”
Ketika
putra beliau, Abdul jabbar, menanyakan bagian mana tubuhnya yang teras
sakit, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Semuanya, kecuali
hatiku. Tak ada sakit sedikitpun pada bagian ini karena ia bersama
Allah.”
Putra beliau yang lain, Abdul Wahab, berkata kepada
beliau: “Berilah aku nasehat terakhir yang dapat kuamalkan setelah ayah
wafat.”
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Takutlah hanya
kepada Allah. Berharaplah kepada Allah, dan sampaikan segala
kebutuhanmu kepadaNya. Jangan berharap atau menghendaki sesuatupun dari
selain Allah. Bertawakallah hanya kepada Allah, bersatulah denganNya,
bersatulah denganNya.”
Sebelum wafat, beliau memandangi
sekeliling dan berkata kepada orang-orang yang hadir: “Mereka yang tak
pernah kalian lihat telah datang kepadaku. Berikan ruang dan bersikap
santunlah kepada mereka. Aku adalah isi tanpa kulit. Kalian melihatku
bersama kalian, padahal aku bersama yang lain. Tinggalkan aku sendiri.”
Kemudian beliau berkata: “Wahai malaikat maut, aku tak takut kepadamu
atau apapun selain Allah yang telah menemaniku dan bersikap baik
kepadaku.”
Pada detik-detik terakhir, beliau angkat tangannya
dan berkata: “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah
utusan Allah. Segala puji bagi Allah, Yang Maha Suci, Maha Hidup. Segala
puji bagiNya, Yang Maha Kuasa, yang mengalahkan hambaNya dengan
kematian.”
Setelah menyeru: “Allah, Allah, Allah,” ruh beliau pun pergi meninggalkan jasad beliau.
Semoga Allah meridhai ruh beliau dan ruh beliau memberi barakah kepada kita semua. Aamiin.
Manaqib Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani yang pertama silakan klik di sini:
https://www.facebook.com/KumpulanFotoUlamaDanHabaib/posts/514451558645521
Keterangan foto: As-Sayyid al-Habib Umar bin Hamid al-Jailani, salah
satu cucu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, yang sekarang tinggal di
Jeddah.
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 11 Oktober 2013
Lihat Manaqib secara lengkapnya di sini: http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/10/manaqib-sulthanul-auliya-sayyidi-syaikh_2293.html
Koleksi foto cucu ketururan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bisa dilihat di sini: https://www.facebook.com/media/set/?set=a.378577235566288.91027.347695735321105&type=1
Sabtu, 02 November 2013
MANAQIB SULTHANUL AULIYA SAYYIDI SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI (BAGIAN KEDUA/TERAKHIR)
Label:
kisah para ulama'
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar